Wednesday, April 9 2025

In short story

Why (2)

2. Tentang Kamu
Aku tidak pernah tahu mengapa kita ditakdirkan bertemu jika pada akhirnya kita tidak pernah ditakdirkan untuk bersama. Tidak terhitung berapa waktu yang kuhabiskan mempertanyakan semua teka-teki itu. Makna dari senyummu, atau kerut di dahimu, tak pernah kau bagi denganku.
Mulanya memang tidak seperti itu. Kita pernah sangat bahagia berada di dekat satu sama lain. Kita pernah jadi dua manusia yang paling beruntung karena saling menemukan. Bagiku, kau adalah kebahagiaan. Bukan, kau ibarat senyum dan tawa, simbol dari kebahagiaan itu sendiri. Bagiku, duduk bersamamu adalah tempat dimana puncak kebahagiaan bisa terjadi. Kau adalah orang satu-satunya yang selalu membuatku tertawa lepas, orang yang membuatku bisa jadi diriku sendiri.
Suatu hari kau pernah berjanji akan selalu ada untukku.
“Kalau bisa aku akan temani kamu 24 jam 7 hari.” Katamu waktu itu, 3 tahun lalu.
Tapi itu tidak pernah terjadi. Janji itu hanya bertahan sebulan sebelum pada akhirnya aku merasa kau memberi jarak di antara kehadiran kita berdua. Mungkin semuanya akan jadi lebih mudah jika kau punya alasan. Tapi sekali lagi, kau tidak pernah berbagi apapun. Bagimu perasaanku tidak pernah penting. Kau tidak pernah bertanya, dan tidak suka ditanya tentang perasaan. Apa salah jika akhirnya aku yang memutuskan untuk pergi?
Mulanya aku pikir aku adalah orang yang paling mengenalmu. Aku pikir, aku lebih mengenal dirimu dibanding aku mengenal diriku sendiri. Aku pikir kita memang diciptakan untuk menemukan yang tidak pernah kita sadari dalam diri kita masing-masing. Aku lebih banyak memperhatikanmu dibandingkan aku memperhatikan diriku sendiri. Banyak hal dalam diriku yang tidak pernah aku sadari, tapi bisa dengan mudah kau temukan. Dan tidak terbatas pula jumlah kemungkinan yang bisa aku temukan dalam dirimu. Kemungkinan yang bahkan tidak pernah terlintas di benakmu.
Aku selalu memberi perhatian pada setiap detik yang aku habiskan denganmu. Aku ingat setiap irama jantungmu saat kau senang, sedih, bahkan marah. Aku paham makna dari setiap deru napasmu. Tenang, lemah, tergesa, semuanya aku pahami dengan baik, lebih dari kau memahami dirimu sendiri. Tapi semua ingatanku tentangmu tidak berarti aku memahami jalan pikiran dan hatimu. Kedua tempat itu adalah tempat asing yang selalu kau tutup rapat dariku.
Aku ingat sekali, sebelum kau tanpa sinyal memutuskan untuk memberi jarak di antara kita, kita pernah duduk di sudut rumahku. Di sebuah sofa yang sengaja kuletakkan di pinggir jendela. Punggung kita saling bersandar satu sama lain, kau menghadap ke utara dan aku ke selatan. Kita tidak berbicara sama sekali, hanya membaca buku favorit masing-masing dengan headset yang terhubung pada ponselmu. Saling mendengarkan detak jantung sambil berusaha menerjemahkan kalimat dalam buku masing-masing.
The Beatles. Lagu-lagu favoritmu sepanjang masa kau bilang. Jangan salah, aku juga suka The Beatles, tapi tidak sebesar kau menyukainya. Awalnya kau asyik bernyanyi, sampai-sampai aku mengomel karena aku tidak bisa membaca dengan fokus. Dan kau hanya membalas dengan tawa jahilmu. Apakah pernah ada orang yang bilang, kau punya tawa yang indah. Hidungmu selalu berkerut saat kau tertawa, dan aku menyukainya. Kau punya suara yang nyaman didengar, dan aku rela menukar apapun agar bisa mendengarmu bernyanyi kembali. Good old days.

Kau selalu bisa membuatku tertawa. Kau juga yang selalu bisa membuatku jatuh berulang-ulang. Dan aku selalu punya kekuatan untuk berdiri dan kembali merentangkan tanganku untuk memelukmu kembali, tidak peduli berapa banyak air mata yang telah kering di pipiku. Aku mencintaimu sebanyak detak jantung yang berdegup selama aku mengenalmu. Sejak dulu hingga sekarang, kau masih jadi satu-satunya nama yang digemakan dalam ruang di dadaku. Rahagi Magani Warabrata.

Related Articles

0 komentar:

Post a Comment