2. Tentang
Kamu
Aku
tidak pernah tahu mengapa kita ditakdirkan bertemu jika pada akhirnya kita
tidak pernah ditakdirkan untuk bersama. Tidak terhitung berapa waktu yang
kuhabiskan mempertanyakan semua teka-teki itu. Makna dari senyummu, atau kerut
di dahimu, tak pernah kau bagi denganku.
Mulanya
memang tidak seperti itu. Kita pernah sangat bahagia berada di dekat satu sama
lain. Kita pernah jadi dua manusia yang paling beruntung karena saling
menemukan. Bagiku, kau adalah kebahagiaan. Bukan, kau ibarat senyum dan tawa,
simbol dari kebahagiaan itu sendiri. Bagiku, duduk bersamamu adalah tempat
dimana puncak kebahagiaan bisa terjadi. Kau adalah orang satu-satunya yang
selalu membuatku tertawa lepas, orang yang membuatku bisa jadi diriku sendiri.
Suatu
hari kau pernah berjanji akan selalu ada untukku.
“Kalau
bisa aku akan temani kamu 24 jam 7 hari.” Katamu waktu itu, 3 tahun lalu.
Tapi
itu tidak pernah terjadi. Janji itu hanya bertahan sebulan sebelum pada
akhirnya aku merasa kau memberi jarak di antara kehadiran kita berdua. Mungkin
semuanya akan jadi lebih mudah jika kau punya alasan. Tapi sekali lagi, kau
tidak pernah berbagi apapun. Bagimu perasaanku tidak pernah penting. Kau tidak
pernah bertanya, dan tidak suka ditanya tentang perasaan. Apa salah jika
akhirnya aku yang memutuskan untuk pergi?
Mulanya
aku pikir aku adalah orang yang paling mengenalmu. Aku pikir, aku lebih
mengenal dirimu dibanding aku mengenal diriku sendiri. Aku pikir kita memang
diciptakan untuk menemukan yang tidak pernah kita sadari dalam diri kita
masing-masing. Aku lebih banyak memperhatikanmu dibandingkan aku memperhatikan
diriku sendiri. Banyak hal dalam diriku yang tidak pernah aku sadari, tapi bisa
dengan mudah kau temukan. Dan tidak terbatas pula jumlah kemungkinan yang bisa
aku temukan dalam dirimu. Kemungkinan yang bahkan tidak pernah terlintas di
benakmu.
Aku
selalu memberi perhatian pada setiap detik yang aku habiskan denganmu. Aku
ingat setiap irama jantungmu saat kau senang, sedih, bahkan marah. Aku paham
makna dari setiap deru napasmu. Tenang, lemah, tergesa, semuanya aku pahami
dengan baik, lebih dari kau memahami dirimu sendiri. Tapi semua ingatanku
tentangmu tidak berarti aku memahami jalan pikiran dan hatimu. Kedua tempat itu
adalah tempat asing yang selalu kau tutup rapat dariku.
Aku
ingat sekali, sebelum kau tanpa sinyal memutuskan untuk memberi jarak di antara
kita, kita pernah duduk di sudut rumahku. Di sebuah sofa yang sengaja
kuletakkan di pinggir jendela. Punggung kita saling bersandar satu sama lain, kau
menghadap ke utara dan aku ke selatan. Kita tidak berbicara sama sekali, hanya
membaca buku favorit masing-masing dengan headset
yang terhubung pada ponselmu. Saling mendengarkan detak jantung sambil
berusaha menerjemahkan kalimat dalam buku masing-masing.
The
Beatles. Lagu-lagu favoritmu
sepanjang masa kau bilang. Jangan salah, aku juga suka The Beatles, tapi tidak
sebesar kau menyukainya. Awalnya kau asyik bernyanyi, sampai-sampai aku
mengomel karena aku tidak bisa membaca dengan fokus. Dan kau hanya membalas
dengan tawa jahilmu. Apakah pernah ada orang yang bilang, kau punya tawa yang
indah. Hidungmu selalu berkerut saat kau tertawa, dan aku menyukainya. Kau
punya suara yang nyaman didengar, dan aku rela menukar apapun agar bisa
mendengarmu bernyanyi kembali. Good old
days.
Kau
selalu bisa membuatku tertawa. Kau juga yang selalu bisa membuatku jatuh
berulang-ulang. Dan aku selalu punya kekuatan untuk berdiri dan kembali
merentangkan tanganku untuk memelukmu kembali, tidak peduli berapa banyak air
mata yang telah kering di pipiku. Aku mencintaimu sebanyak detak jantung yang
berdegup selama aku mengenalmu. Sejak dulu hingga sekarang, kau masih jadi
satu-satunya nama yang digemakan dalam ruang di dadaku. Rahagi Magani Warabrata.
0 komentar:
Post a Comment