In

Fear free

1. Jangan takut mengaku salah, karena berbuat salah itu sangat manusiawi.

2. Jangan takut kehilangan, karena kamu jadi lebih bisa menghargai apa yang telah hilang.

3. Jangan takut minta tolong, karena kehebatan manusia ada batasnya.

4. Jangan takut sendirian, karena di saat sendiri kamu bisa mendengarkan suara hati kamu yang paling sejati.

5. Jangan takut kesepian, karena itu bagian dari kehidupan dan sinyal peringatan untuk membangun hubungan erat dengan manusia lain.

6. Jangan takut patah hati, karena rasa sakitnya bisa membuat kamu lebih mengenal dan menyayangi dirimu sendiri.

7. Jangan takut bertanya, karena pertanyaan bisa membuka dialog dan memberi kamu pengetahuan baru yang mungkin saja menguntungkan kamu.

8. Jangan takut meminta hak, karena siapa lagi yang akan memperjuangkan hidup kamu selain dirimu sendiri?

9. Jangan takut gagal, karena kegagalan akan menempa kamu menjadi lebih tangguh.

10. Jangan takut punya musuh, karena musuh membuat kamu terus waspada. Lebih baik kamu takut pada teman palsu.

11. Jangan takut bilang "helooo", pada orang asing sekalipun, karena bisa jadi itu awal dari sebuah persahabatan yang indah.

12. Jangan takut berpisah, karena perpisahan perlu untuk mempersiapkan perjumpaan baru, percintaan baru, dan pengalaman baru.


Sumber: Wonderteen magazine 305/January/XX/2014 halaman 66-67.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

bicara soal: cinta

Once, someone said: “bagiku, cinta itu proses. kenapa aku bisa cinta sama ibuku, itu karena proses kan.”

Honestly, saya tidak terlalu setuju. Beberapa kali saya pernah berpikir. Kenapa sebagian orang kadang lebih senang menghabiskan liburan bersama pacarnya dibandingkan dengan keluarganya? Bukankah keluarga adalah orang-orang yang akan selalu menerima apa adanya? Kenapa ketika pacar marah kita mati-matian berusaha minta maaf sedangkan ketika ayah atau ibu kita marah, kadang kita biasa aja, malah balik marah. Kenapa kadang kita rela mati-matian memperbaiki diri biar orang yang kita suka itu bisa suka balik sama kita, sementara ketika ayah atau ibu minta kita berubah, kita menolak?

Pemikiran saya lalu bermuara pada satu kesimpulan: Karena cinta pada orang tua itu bukan pilihan, sementara cinta pada lawan jenis itu pilihan, meskipun kadang kita melakukan pilihan itu tanpa sadar.

Kita nggak bisa memilih kan orang tua mana yang mau kita cintai, atau lebih sayang mana ke ayah atau ke ibu? Karena cinta pada mereka itu bukan pilihan, tapi memang sejak kita lahir ke dunia, kita sudah di “setting” agar cinta sama mereka. Tentu kondisi ini terjadi ketika hubungan kita dengan orang tua berjalan baik-baik saja. No violence, no neglect. Bahkan kadang, anak-anak yang mengalami kekerasan dan pengabaian dari orang tuanya pun masih tetap cinta sama orang tuanya. Walaupun mungkin kadarnya berkurang. But still, in the deepest of their heart, they love their parents, but may be they’re too hurt to admit that they love them.

Berbeda dengan cinta pada pacar. Even love at first sight is a choice. Kalaulah cinta pada pandangan pertama itu bukan pilihan, kita pasti jatuh cinta pada semua orang kan? Hahaha. Sebab kita punya standar tentang orang seperti apa yang bisa membuat kita jatuh cinta, tipe wajah seperti apa yang kita suka, dan hal-hal lain itulah maka saya berani bilang bahwa “Love at first sight is a choice.”

Kenapa kita lebih rela berubah demi mendapatkan seseorang daripada karena orang tua kita yang meminta? Balik lagi karena cinta pada lawan jenis itu adalah pilihan. Pilihan tidak hanya dibuat oleh satu pihak yang bermain cinta, tapi oleh kedua belah pihak. Kita misalkan Budi jatuh cinta pada Wati. Budi memilih jatuh cinta pada Wati karena Wati cantik. Tapi Wati tidak memilih jatuh cinta pada Budi karena Budi pemalas. Kalau Budi tidak rela mengubah sifat pemalasnya demi mendapatkan Wati, maka mereka tidak akan bisa saling jatuh cinta. Sesimpel itu. Bahkan jika Budi dan Wati akhirnya jadian lalu ada sebuah sifat Wati yang tidak disukai Budi dan Wati tidak mau mengubahnya, maka Budi bisa saja memilih meninggalkan Wati.
Tidak begitu dengan orang tua. Cinta antara orang tua dan anak itu bukan sebuah pilihan. Sejelek apapun anak, orang tua akan menerima. Kalau ada orang tua yang tidak mau menerima anaknya lagi, itu pasti karena mereka sudah terlalu sakit hati untuk menerima kembali anaknya. Tapi pada dasarnya mereka sangat merindukan anaknya, masih sangat mencintai anaknya dan berharap anaknya kembali menjadi seperti yang mereka inginkan.

Ada satu hal menarik lainnya. Dalam ajaran Islam, ketika seorang perempuan menikah, maka orang yang pertama kali harus dia minta restunya dan dia patuhi adalah suaminya. Mengapa? Menurut saya, karena Allah Maha Tahu bahwa cinta pada suami atau pada istri itu adalah pilihan. Jika Budi dan Wati menikah lalu Wati punya kebiasaan boros beli barang bermerk tanpa memperhatikan penghasilan keluarga, Budi bisa saja menceraikan Wati, jika memang pilihannya begitu. Oleh karena itu Allah menciptakan peraturan bahwa ridho Allah itu tergantung pada ridho suami bagi perempuan yang sudah menikah. Karena cinta pada pasangan adalah pilihan.

Ini hanya satu di antara banyak definisi cinta yang saya pahami. Definisi sebenarnya tentang cinta itu sangat banyak dan tidak akan habis jika harus dicari satu per satu. Ada yang bilang cinta itu persahabatan, cinta itu proses, cinta itu karena terbiasa, dan lain-lain. Semua itu tergantung dari sisi mana kita melihatnya, definisi cinta seperti apa yang kita anut.
Hahaha.

Selamat siang. Semoga kalian berbahagia.
:)

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Kenapa namanya senandikaayu?

Kenapa harus senandika ayu?
Kalau mau iseng googling kata 'senandika' maka akan kalian temukan banyak blog menggunakan kata senandika.
Yap, senandika atau bisa juga disebut solilokui adalah suatu istilah yang menurut sebuah website tertentu diartikan sebagai "Wacana seorang tokoh dalam karya susastra dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut, atau untuk menyajikan informasi yg diperlukan pembaca atau pendengar."
Jadi, senandika atau solilokui bisa dibilang adalah semacam pembicaraan dengan diri sendiri tentang apa yang dirasakan oleh penulis atau pelakon dari sebuah cerita.
Saya menulis untuk diri saya sendiri. Saya tidak pernah memikirkan apa yang orang katakan mengenai diri saya.
Saya menulis untuk, kalau orang psikologi bilang, katarsis. Semacam stress-release untuk meringankan beban hidup yang menggelayut pundak.
Saya menulis apapun yang saya pikirkan, dan saya menulis untuk membuat saya tetap berpikiran terbuka terhadap semua kemungkinan.
Saya menulis untuk membuat otak saya tetap terjaga dan fresh.
Jadi, selamat datang dalam dunia saya, alam pikiran saya, diri saya.
Jika Anda memutuskan untuk membaca, maka bukalah pikiran kalian.
Karena saya berharap dengan membaca tulisan saya, Anda mendapatkan sesuatu. Ilmu, pola pikir baru, apapun itu.
So, welcome :)

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments